Andai saja anda pernah ngobrol dengan kaum tani di Jalur-jalur di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan maka terasa bahwa situasi ekstrim akan menghadang kehidupan mereka dewasa. Penghidupan yang semakin rapuh karena kenaikan harga BBM.
Dalam sebuah analisa ekonomi partisipatif yang pernah saya lakukan dengan kaum tani di dusun III & IV Desa Nusantara, Kecamatan Air Sugihan, mereka dengan sadar berkesimpulan bahwa setiap musim tanam tiba, ada 780 juta rupiah uang yang mengalir ke luar dusun mereka. Hanya 2 dusun dengan total lahan 512 ha!
Jika lahan restan yang ada di dua dusun itu mereka garap, maka uang yang keluar mencapai 1,3 milyar rupiah. Uang 1,3 milyar yang mengalir ke luar dusun ini adalah untuk membeli racun rumput, benih, pupuk dan pestisida. Kalau ada dana mengalir yang ‘lengket’ maka dipastikan itu untuk para pedagang pupuk, bibit atau herbisida.
Rata-rata petani di Dusun III & IV Desa Nusantara memiliki 3 ha lahan. Sebelum BBM naik, untuk setiap hektar lahan, diperlukan modal minimal 3,3 juta rupiah. Modal ini diperlukan untuk herbisida, olah tanah, benih, ongkos tanam, perawatan dan pemupukan, grentek dan biaya ngarit (panen). Pada saat panen, rata-rata produksi padi 40 karung gabah kering giling per hektar. Dari 40 karung ini mereka memperolah uang sebesar 4 juta rupiah. Ini kalau situasi normal.
Andai semuanya berjalan baik, maka musim panen (Desember-Februari) mereka akan mendapat 2,1 juta untuk 3 ha lahan. Tentu sebagian besar beras ini tidak dijual melainkan sebagai persediaan untuk pangan dan untuk dibarterkan membeli kebutuhan lain. Dengan 2,1 juta inilah modal hidup mereka selama 6 bulan ke depan.
Kalau mau dirata-ratakan maka pendapatan mereka adalah 350 ribu per bulan. Ini jika produksi padi 40 karung per hektar dan jika mereka tidak pinjam di ”bank 46”; pinjam 4 kembali 6 dan dibayar saat panen (yarnen). Sekali lagi keuntungan ini jika kondisi normal dan modal tanam masih ada.
Tetapi pada panen Desember-Februari 2008, produksi padi per hektar hanya mencapai 30 karung per hektar. Bahkan ada yang hanya mendapat 16 karung per hektar. Cuaca berbalik kebiasaannya, mereka menanam padi tetapi curah hujan tidak ada. Begitu tiba saat panen curah hujan berlimpah. Hal ini membuat sawah terendam dan kualitas gabah tidak kering.
Kenyataannya 90% petani adalah peminjam di tengkulak dengan sistem yarnen. Pada saat gagal panen tersebut untuk melunasi hutang-hutang yang digunakan untuk modal usaha, sawah 9 hektar milik 9 keluarga di 2 dusun itu harus tergadai.
Tanah Air Ku
Bagi masyarakat Air Sugihan, tanah dimana mereka berpijak adalah tanah gambut dengan keasaman organik yang tinggi. Di bawah lapisan tanah ada senyawa pirit. Pada tahun 80 an pemerintah membuat kanal-kanal dan parit-parit kecil yang ribuan jumlahnya. Berharap tata kelola air mikro berfungsi.
Tetapi harapan itu tidak terjadi. Air dari lahan merembes ke saluran parit-parit yang menyebabkan lahan menjadi kering. Ini petaka bagi mereka. Karena lahan kering, senyawa pirit dilapisan bawah tanah akan teroksidasi dengan udara. Pirit adalah racun yang akan mematikan seluruh tanaman di atasnya, terutama padi.
Air berlimpah di sekitar mereka. Bahkan musim kemarau sekalipun. Tetapi semakin curah hujan tidak ada maka air disekitar mereka semakin berbahaya. Bagi tanaman dan tentu saja bagi manusia.
Dengan iklim global yang telah berubah ekstrim ini, kendali petani untuk beradaptasi di tanah gambut, aluvial rawa dan senyawa pirit dibawahnya bukanlah pekerjaan mudah. Tetapi tidak ada pilihan, hanya tanah inilah tempat tinggal dan harta mereka. Dan kepada tanah seperti inilah investasi serta kehidupan masa depan mereka gantungkan.
Bangsaku
Pada tanggal 3 Juni 2008 ada 20 kelompok tani yang meminta Bupati OKI meresmikan program Agro-Ternak untuk Pertanian yang berkelanjutan. Ide program ini mungkin sedikit ambisius, yakni mensubstitusi pupuk kimia dengan pupuk kompos. Mereka membangun home industri kompos dan hampir seribu ternak kambing akan menjadi pendukung utama.
Program ini juga merencakan sekolah lapang-sekolah lapang, agar mereka semakin memahami kondisi bertani di atas tanah gambut dan air payau. Filosofinya adalah alam (termasuk ternak) pasti memberikan solusi. Tujuan akhirnya adalah ketahanan pangan dan mengakhiri kemiskinan. Salah satu NGO Internasional, Heifer Internasional berhasil mereka yakinkan untuk mendukung berbagai program yang telah di rancang.
Selagi mereka memulai inisiasi-inisiasi baru untuk membangun penghidupan yang lebih baik, Pemerintah menaikkan harga BBM. Sekarang harga bensin di Desa Nusantara minimal Rp. 9.000.- Solar Rp. 7.500. Minyak gorang curah Rp. 14.000 per liter. Bawang 12 ribu per kilogram.
Transport kepalembang (sebagai kota paling dekat) yang hanya dapat dijangkau dengan ketek sekarang menjadi 140 ribu pulang pergi atau 40% dari pendapatan mereka per bulan. Efek domino yang pasti dari kenaikan BBM adalah mahalnya herbisida, bibit dan pupuk.
Susah payah untuk beradaptasi dengan beratnya kondisi alam bukan satu-satunya. Saat ini mereka juga harus beradaptasi kembali karena hidup sebagai sebuah bangsa. Sebuah bangsa yang mencari jalan pintas dan mudah, yakni mengotak atik subsidi BBM untuk mengurangi beban defisit APBN dan menimbulkan harga-harga kebutuhan dasar tidak terjangkau.
Pasti Masih Ada Harapan
Pada waktu kenaikan BBM sebelumnya, masyarakat di Desa Nusantara dengan cerdas menggunakan dana kompensasi BBM untuk mengatasi persoalan air bersih. Walau muncul beberapa keretakan sosial karena dana kompensasi, tetapi paling tidak mereka berhasil sebagai sebuah komunitas membuat bak-bak penampungan di setiap rumah untuk menampung air hujan. Memang bak penampungan ini tidak menjamin ketersediaan air bersih sepanjang tahun. Tetapi cukuplah untuk air minum tiap keluarga
Sebentar lagi mereka akan mendapatkan bantuan langsung tunai. Tentu pasti ada keretakan sosial akibat bantuan tunai ini. Karena pasti tidaklah sempurna adaptasi mereka berhadapan dengan bangsa yang menggelar pertunjukkan bahwa uang tunai dapat menahan kerentanan kaum miskin. Atau uang tunai mampu menjadi jaring pengaman sosial.
Saya hendak mencuplik salah satu visi kelompok desa Nusantara, yakni: “Mampu memaksimalkan lahan yang dimiliki dan menjadi petani mandiri; dengan kekuatan sendiri dapat memproduksi pupuk kompos, pestisida dan benih sendiri. Memiliki industri pupuk kompos, memiliki jumlah ternak yang mencukupi untuk mendukung produksi pupuk kompos dan menerapkan teknologi tepat guna dalam pertanian”
Mengakhiri tulisan ini dengan keyakinan, bahwa: Jika puluhan tahun mereka telah mampu beradaptasi dan meneruskan kehidupan dengan segala suka duka di atas tanah gambut dan air yang payau yang memiliki zat karat tinggi. Pasti mereka memiliki modal sosial yang kuat untuk mampu beradaptasi sebagai bangsa dengan kenaikan BBM-nya, hiruk pikuk pilkada dengan segala janji-janjinya. Seraya terus bekerja untuk mengejar visi yang telah mereka buat.
Dalam sebuah analisa ekonomi partisipatif yang pernah saya lakukan dengan kaum tani di dusun III & IV Desa Nusantara, Kecamatan Air Sugihan, mereka dengan sadar berkesimpulan bahwa setiap musim tanam tiba, ada 780 juta rupiah uang yang mengalir ke luar dusun mereka. Hanya 2 dusun dengan total lahan 512 ha!
Jika lahan restan yang ada di dua dusun itu mereka garap, maka uang yang keluar mencapai 1,3 milyar rupiah. Uang 1,3 milyar yang mengalir ke luar dusun ini adalah untuk membeli racun rumput, benih, pupuk dan pestisida. Kalau ada dana mengalir yang ‘lengket’ maka dipastikan itu untuk para pedagang pupuk, bibit atau herbisida.
Rata-rata petani di Dusun III & IV Desa Nusantara memiliki 3 ha lahan. Sebelum BBM naik, untuk setiap hektar lahan, diperlukan modal minimal 3,3 juta rupiah. Modal ini diperlukan untuk herbisida, olah tanah, benih, ongkos tanam, perawatan dan pemupukan, grentek dan biaya ngarit (panen). Pada saat panen, rata-rata produksi padi 40 karung gabah kering giling per hektar. Dari 40 karung ini mereka memperolah uang sebesar 4 juta rupiah. Ini kalau situasi normal.
Andai semuanya berjalan baik, maka musim panen (Desember-Februari) mereka akan mendapat 2,1 juta untuk 3 ha lahan. Tentu sebagian besar beras ini tidak dijual melainkan sebagai persediaan untuk pangan dan untuk dibarterkan membeli kebutuhan lain. Dengan 2,1 juta inilah modal hidup mereka selama 6 bulan ke depan.
Kalau mau dirata-ratakan maka pendapatan mereka adalah 350 ribu per bulan. Ini jika produksi padi 40 karung per hektar dan jika mereka tidak pinjam di ”bank 46”; pinjam 4 kembali 6 dan dibayar saat panen (yarnen). Sekali lagi keuntungan ini jika kondisi normal dan modal tanam masih ada.
Tetapi pada panen Desember-Februari 2008, produksi padi per hektar hanya mencapai 30 karung per hektar. Bahkan ada yang hanya mendapat 16 karung per hektar. Cuaca berbalik kebiasaannya, mereka menanam padi tetapi curah hujan tidak ada. Begitu tiba saat panen curah hujan berlimpah. Hal ini membuat sawah terendam dan kualitas gabah tidak kering.
Kenyataannya 90% petani adalah peminjam di tengkulak dengan sistem yarnen. Pada saat gagal panen tersebut untuk melunasi hutang-hutang yang digunakan untuk modal usaha, sawah 9 hektar milik 9 keluarga di 2 dusun itu harus tergadai.
Tanah Air Ku
Bagi masyarakat Air Sugihan, tanah dimana mereka berpijak adalah tanah gambut dengan keasaman organik yang tinggi. Di bawah lapisan tanah ada senyawa pirit. Pada tahun 80 an pemerintah membuat kanal-kanal dan parit-parit kecil yang ribuan jumlahnya. Berharap tata kelola air mikro berfungsi.
Tetapi harapan itu tidak terjadi. Air dari lahan merembes ke saluran parit-parit yang menyebabkan lahan menjadi kering. Ini petaka bagi mereka. Karena lahan kering, senyawa pirit dilapisan bawah tanah akan teroksidasi dengan udara. Pirit adalah racun yang akan mematikan seluruh tanaman di atasnya, terutama padi.
Air berlimpah di sekitar mereka. Bahkan musim kemarau sekalipun. Tetapi semakin curah hujan tidak ada maka air disekitar mereka semakin berbahaya. Bagi tanaman dan tentu saja bagi manusia.
Dengan iklim global yang telah berubah ekstrim ini, kendali petani untuk beradaptasi di tanah gambut, aluvial rawa dan senyawa pirit dibawahnya bukanlah pekerjaan mudah. Tetapi tidak ada pilihan, hanya tanah inilah tempat tinggal dan harta mereka. Dan kepada tanah seperti inilah investasi serta kehidupan masa depan mereka gantungkan.
Bangsaku
Pada tanggal 3 Juni 2008 ada 20 kelompok tani yang meminta Bupati OKI meresmikan program Agro-Ternak untuk Pertanian yang berkelanjutan. Ide program ini mungkin sedikit ambisius, yakni mensubstitusi pupuk kimia dengan pupuk kompos. Mereka membangun home industri kompos dan hampir seribu ternak kambing akan menjadi pendukung utama.
Program ini juga merencakan sekolah lapang-sekolah lapang, agar mereka semakin memahami kondisi bertani di atas tanah gambut dan air payau. Filosofinya adalah alam (termasuk ternak) pasti memberikan solusi. Tujuan akhirnya adalah ketahanan pangan dan mengakhiri kemiskinan. Salah satu NGO Internasional, Heifer Internasional berhasil mereka yakinkan untuk mendukung berbagai program yang telah di rancang.
Selagi mereka memulai inisiasi-inisiasi baru untuk membangun penghidupan yang lebih baik, Pemerintah menaikkan harga BBM. Sekarang harga bensin di Desa Nusantara minimal Rp. 9.000.- Solar Rp. 7.500. Minyak gorang curah Rp. 14.000 per liter. Bawang 12 ribu per kilogram.
Transport ke
Pasti Masih Ada Harapan
Pada waktu kenaikan BBM sebelumnya, masyarakat di Desa Nusantara dengan cerdas menggunakan dana kompensasi BBM untuk mengatasi persoalan air bersih. Walau muncul beberapa keretakan sosial karena dana kompensasi, tetapi paling tidak mereka berhasil sebagai sebuah komunitas membuat bak-bak penampungan di setiap rumah untuk menampung air hujan. Memang bak penampungan ini tidak menjamin ketersediaan air bersih sepanjang tahun. Tetapi cukuplah untuk air minum tiap keluarga
Sebentar lagi mereka akan mendapatkan bantuan langsung tunai. Tentu pasti ada keretakan sosial akibat bantuan tunai ini. Karena pasti tidaklah sempurna adaptasi mereka berhadapan dengan bangsa yang menggelar pertunjukkan bahwa uang tunai dapat menahan kerentanan kaum miskin. Atau uang tunai mampu menjadi jaring pengaman sosial.
Saya hendak mencuplik salah satu visi kelompok desa Nusantara, yakni: “Mampu memaksimalkan lahan yang dimiliki dan menjadi petani mandiri; dengan kekuatan sendiri dapat memproduksi pupuk kompos, pestisida dan benih sendiri. Memiliki industri pupuk kompos, memiliki jumlah ternak yang mencukupi untuk mendukung produksi pupuk kompos dan menerapkan teknologi tepat guna dalam pertanian”
Mengakhiri tulisan ini dengan keyakinan, bahwa: Jika puluhan tahun mereka telah mampu beradaptasi dan meneruskan kehidupan dengan segala suka duka di atas tanah gambut dan air yang payau yang memiliki zat karat tinggi. Pasti mereka memiliki modal sosial yang kuat untuk mampu beradaptasi sebagai bangsa dengan kenaikan BBM-nya, hiruk pikuk pilkada dengan segala janji-janjinya. Seraya terus bekerja untuk mengejar visi yang telah mereka buat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang Keras Menggunakan kata-kata "SARA"